Kamis, 15 Desember 2011

Kritik Tajam Lewat Lakon Komedi

Pementasan Opera ”Raja dan Ratu Air”
Oleh: Yosi Abdian Tindaon

Berbagai macam cara penyampaian kritik dapat dilakukan sedemikian rupa, tidak hanya dengan demonstrasi dan orasi besar-besaran di jalan raya, juga lewat pertunjukan opera dan lakon komedi. Ya, komedi! Teater Gelanggang Kreasi Seni Indonesia (Generasi) bekerjasama dengan Rumah Kata mempertegas anggapan tersebut. Lewat Opera ”Raja dan Ratu Air”, Teater Generasi mencoba ikut mengkritisi pola tingkah para petinggi dan pemegang kekuasaan yang cenderung serakah, egois, licik dan menggunakan segala cara dalam mengolah dan mendayagunakan sumberdaya alam yang tersedia demi kemakmuran dirinya sendiri.



Keterangan foto:

Lakon Opera ”Raja dan Ratu Air”, Jumat, 13 Mei 2011 di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Medan.


Berlangsung pada Jumat, 13 Mei 2011 di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan No.33 Medan. Opera menampilkan beberapa aktor dan aktris muda yang tergabung dalam Sanggar Generasi Medan di antaranya Niena Winata, S. Yadhie, Cut Aida, Sutriono, Syahdi Azhari dan lain-lain. Opera diawali dengan musikalisasi puisi yang dibawakan siswa Sekolah Menengah Pertama dan dilanjutkan dengan mahasiswa FKIP UISU. Sebanyak tiga buah puisi dimusikalisasikan sebagai pembuka pertunjukan.
Opera ”Raja dan Ratu Air” yang ditulis oleh Idris Siregar dan disutradarai Suyadi San mengangkat cerita beralatar dua kerajaan yang saling memperebutkan sumber mata air yang terletak pada kerajaan Sang Ratu, namun diklaim juga sebagai milik Sang Raja. Perseteruan kian rumit sebab masing-masing utusan yang dikirim kedua belah pihak sebagai pencari informasi pihak lawan justru saling jatuh hati.
Dimulai dengan sebuah lagu yang dibawakan para pelakon. Sayang, di awal pertunjukan, kelemahan pada bagian suara sudah terasa. Tak terelakkan, suara para pelakon yang bernyanyi terdengar sayup-sayup di antara bunyi alat musik yang mendominasi. Tampaknya para pelakon telah benar-benar berusaha menampilkan performa suara terbaik dengan artikulasi yang jelas, namun tak mengimbangi deru alat musik dan riuh penonton yang didominasi oleh para pelajar SMP dan SMA.
Dijadwalkan sebagai opera yang mengusung komedi pada cerita yang ditampilkan, Teater Generasi nampaknya tidak begitu berhasil. Seumpama kendaraan yang ngadat , lajunya jadi tersendat. Penonton sesekali tertawa gelak karena dialog atau pola dan gerak pelakon yang bertingkah lucu di atas panggung. Tapi sayang, gelak tawa penonton tidak mendominasi opera. Sebagian besar penonton bahkan merasakan jenuh disebabkan dialog yang monoton dan pelakon asyik sendiri di atas panggung pertunjukan.
Harapan penonton untuk menyaksikan lakon komedi yang menghibur tak dapat terpenuhi. Niat utuk menampilkan kesegaran dalam kancah teater Medan –yang kerap kali mementaskan teater dengan ”keseriusan” dan ”kerumitan” – , Opera ”Raja dan Ratu Air” diibaratkan hidangan yang perlu ditanak lebih lama lagi agar benar-benar menghasilkan cita rasa yang nikmatnya tidak setengah-setengah.
Kemegahan biasanya tak lepas dan selalu bersinggungan dengan sebuah kerajaan. Demikian juga tata panggung Opera ”Raja dan Ratu Air” memperlihatkan dengan jelas keanggunan singgasana yang menawan, juga penuh warna-warna ceria. Pun begitu, tak menggambarkan konsep kerajaan secara detail.

Menyingkap Kesepian Apresiasi

Workshop Musikalisasi Puisi di USU
Oleh: Yosi Abdian Tindaon

Ungkapkan dengan kata, pertegas dengan bunyi. Demikian yang dapat disarikan pada ”Workshop/ Pelatihan Musikalisasi Puisi Guru SMP/ SMA dan Mahasiswa Se-kota Medan dan Sekitarnya” yang berlangsung pada Jumat dan Sabtu 18-19 Maret 2011 mulai pukul 09.00 s/d 17.00 WIB di ruang serbaguna Fakultas Sastra USU.
Pelatihan ini dilaksanakan atas kerjasama: Komunitas Musikalisasi Puisi (KOMPI) Medan, Departemen Etnomusikologi,Fakutas Sastra USU, dan Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni USU.
Pelatihan terbilang komplit dari segi materi. H. Fredie Asri memaparkan pengalaman menggeluti musikalisasi puisi bersama sanggarnya, Sanggar Matahari. Hasan Al Banna membahas ide dalam puisi. Drs. Irwinsyah Harahap, M.A berbagi pandangan akan seni dan kebudayaan dan pengalaman beliau dalam musikalisasi puisi. Tahan Perjuangan Manurung, S.Sn cenderung menjelaskan komposisi musik dalam musikalisasi puisi. Dan Ahmad Arief Tarigan, S.sn yang turut menjelaskan musikalisasi puisi ditinjau dari istilah dan metodenya.


Keterangan foto:

Para pemateri: Hasan Al Banna (Kiri), Tahan Perjuangan Manurung, S.Sn, H. Fredie Asri, dan Ahmad Arief Tarigan, S.sn dalam ”Workshop Musikalisasi Puisi” di USU, Jumat – Sabtu (18-19/ 12)

Seni rupa-rupanya telah kehilangan identitasnya. Demikian kalimat Drs. Irwansyah Harahap, M.A. Ya, perubahan besar-besaran telah terjadi pada seni belakangan ini. Zaman membawa kita pada suasana yang penuh kebaruan. Apresiasi terhadap seni berubah-ubah karena adanya revolusi pasar. Seni menjelma produk atau komoditi. Industrialisasi seni mengikis habis ide seni yang lebih dalam dan membuatnya menjadi pasaran. Esensi seni hilang ditelan zaman yang sempit dan membunuh kreatifitas orang-orang.
Memang, terdapat paradigma yang mengucilkan bidang kesenian belakangan ini. Memandang bidang kesenian sebagai suatu hal perlu dikesampingkan dan tidak dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu lainnya. Sayangnya pandangan itu tumbuh subur di negara berkembang seperti Indonesia ketika negara-negara di Eropa justru melakukan hal sebaliknya.


Dari Komunitas Hingga Gelar Sastrawan

Omong-omong Sastra di Binjai
Oleh: Yosi Abdian Tindaon

Kediaman yang asri milik salah satu sastrawan Sumatera Utara, Saripuddin Lubis di Binjai, ternyata tak menjamin sebuah diskusi akan berlangsung dingin dan sejuk. Diskusi mengenai komunitas sastra mungkin tak akan ada habisnya. Pembicara, bahkan masing-masing peserta memiliki pendapat yang berbeda soal topik pembicaraan. Setidaknya hal itu akan terlihat pada ”Omong-omong Sastra” yang diadakan pada Minggu, 6 Maret 2011 sejak pukul 11.00 WIB. ”Omong-omong Sastra” merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan para sastrawan Medan (Sumatera Utara). Konon, wadah diskusi antar para sastrawan ini sudah berlangsung sejak 35 tahun yang lampau.



Keterangan foto:

Damiri Mahmud (kanan), Wahyu Wiji, Afrion dan Yulhasni dalam “Omong-omong Sastra” di Binjai.


Acara diskusi ini berlangsung secara periodik (tergantung waktu dan kesempatan) dari rumah ke rumah. Sejumlah sastrawan tampak hadir pada diskusi kali ini seperti; Damiri Mahmud, D. Rivai Harahap, Sulaiman Sambas, M. Raudah Jambak, Hasan Al Banna, Nasib TS, Norman Tamin, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti, Herni Fauziah serta beberapa penulis muda lainnya. Diskusi berlangsung sekitar 4 jam dan dimeriahkan juga dengan pertunjukan musikalisasi puisi yang dibawakan dengan sangat apik oleh siswa SMAN 2 Binjai.
Afrion ditunjuk forum sebagai pemandu dua pembicara: Yulhasni (pengamat sastra) dan Wahyu Wiji Astusti (penulis dan penggiat komunitas). Yulhasni menyodorkan tema komunitas sastra di Sumut. Selanjutnya, Wahyu Wiji Ayu banyak menyinggung topik sastra kontemporer. Kedua pembicara menyampaikan pemikirannya dengan apik meskipun lebih banyak membaca makalahnya hingga lembar terakhir. Diskusi yang berkembang selanjutnya lebih dititikberatkan pada masalah komunitas sastra.
Ya, Yulhasni lewat makalahnya mengurai satu kenyataan yang kemudian dianggap sebagai masalah. Komunitas sastra belakangan memang tengah berkembang dengan pesat di Sumatera Utara, terutama di beberapa kampus yang memiliki beberapa komunitas sekaligus. Beliau merasakan fakta bahwa komunitas sastra yang tersebar di Medan belakangan ini hanyalah sebagai wujud perayaan penciptaan karya dan berkumpulnya penulis sastra tanpa melakukan perubahan besar demi kemajuan ranah sastra Medan. Bagi Yulhasni, suatu kelompok kesusatraan sebenarnya dilahirkan untuk sebuah kelahiran baru bagi genre sastra itu sendiri. Beliau bernasihat kritis betapa sebaiknya komunitas sastra harus memiliki ideologi dan mencipta sesuai ideologi yang diusung. Dan perlunya komunitas-komunitas melakukanpenolakan hegemoni yang tidak sesuai.
Sebagai salah satu peserta diskusi, Dani Sukma A.S berpendapat lain. Dia menuduh pembicara melupakan hal yang paling mendasar tentang alasan seseorang memilih masuk ke dalam sebuah komunitas sastra. Tentu ingin mengetahui bagaimana cara menulis sastra yang baik dan bagaimana agar dapat mengembangkan kemampuan menulisnya. Pembentukan sebuah komunitas penulis kampus adalah juga sebuah upaya pembuktian bahwa seorang sarjana mampu menulis serta bersastra dan tidak hanya bergelut dengan bidang akademisi semata. Bayangkan, bagaimana ketika kemudian penulis pemula disodori dengan ideologi?
Damiri Mahmud lain pula. Damiri menyatakan bahwa inovasi pada ranah sastra tidak harus melalui gebrakan dan penemuan genre baru. Melainkan yang lebih penting adalah bagaimana seorang sastrawan dapat terus menulis dan memberikan pencerahan bagi semua orang tanpa harus terpatok pada genre penciptaan dan akhirnya melakukan kemunafikan.
Sementara itu, Wahyu dalam makalahnya menjelaskan ihwal puisi kontemporer yang belakangan marak dibicarakan dan ditulis oleh beberapa penyair muda. Secara pribadi Wahyu menjunjung tinggi kebebasan dalam menulis dan berekspresi. Meskipun begitu, banyak penulis muda lainnya masih merasa bahwa puisi konvensional lebih indah karena mudah dimengerti dan sederhana hingga pesan yang terkandung akan dapat ditangkap oleh pembaca. Dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) yang diketuainya, Wahyu menggiring anggotanya untuk terlebih dahulu menekuni proses penciptaan puisi konvensional.
Hakikatnya, kedua topik yang dibahas pada “Omong-omong Sastra” berkaitan erat. Pembahasan ‘kemeriahan’ komunitas sastra di Medan diharapkan melahirkan sebuah gebrakan baru atau bahkan genre baru dalam ranah kesusastraaan yang akhir-akhir ini dianggap monoton. Ulasan Wahyu tentang sastra kontemporer juga terkait langsung dalam kesemarakan kesastraan itu sendiri. Sastra kontemporer (dalam konteks kebaruan ideologi) itulah yang mungkin ditagih Yulhasni dari pena para penulis yang berkhidmat di komunitas-komunitas sastra di Medan yang berpusat di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU).
Kebebasan pada hakikatnya adalah milik semua orang. Juga milik setiap penulis, baik dari segi penyampain maupun dari segi isi. Besar harapan, kiranya para sastrawan tidak terlena akan kebebasan yang dimilikinya. Sehingga tidak semata-mata memamerkan keahlian dan kekreatifan yang luar biasa sehingga tak jarang sebuah puisi sama sekali tidak dapat diinterpretasi dengan mudah oleh para pembaca. Hal ini dapat dengan mudah terlihat. Bahkan para mahasiswa Jurusan Sastra akan mengalami kesulitan untuk memaknainya. Lantas bagaimana dengan para pembaca awam lainnya? Dan benarkah sudah tersedia banyak sastrawan yang mampu menjelaskan dengan benar akan makna yang sebenarnya dari puisi-puisi yang menyimpang tersebut?
Pada akhirnya tidak dapat dielakkan bahwa puisi-puisi kontemporer dengan permainan bahasa serta tipografi sedemikian rupa, terkadang justru menimbulkan kebingungan dan tentu saja akan ditinggalkan masyarakat. Yang lebih diperlukan bangsa kita pada saat ini adalah karya sastra yang sederhana, komunikatif, mudah dicerna dan tentu saja mengandung pesan-pesan pencerahan. Dengan demikian juga dapat menumbuh kembangkan minat mengapresiasi sastra oleh masyarakat luas.
Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Tentu saja kehadiran komunitas-komunitas penulis di Medan layaknya disambut baik, sebab dari komunitas-komunitas itulah diharapkan melahirkan para sastrawan yang berkarakter. Ideologi yang diharapkan tumbuh di setiap komunitas bisa saja makin kokoh seiring berjalannya waktu dan proses kreativitas anggota komunitas. Pun demikian, tidaklah sebuah komunitas diharuskan memiliki sebuah ideologi dalam menulis atau berkarya, karena justru akan membatasi perjalanan hasil sastra.
Namun, tidak seharusnya komunitas menjadi tempat bergantung para penulis sehingga akan membunuh kemandirian penulis itu sendiri. Kelak penulis yang sangat bergantung pada komunitasnya akan rikuh ketika harus terjun sendiri tanpa bantuan komunitas. Belenggu komunitas juga kian rapat karena pada akhirnya tak jarang penulis kurang bersosialisasi dan merasa eksklusif dengan komunitasnya. Seolah tak membutuhkan dunia lain di luar komunitas. Komunitas agaknya bukan sarana pembaptisan bagi calon sastrawan. Seperti halnya penyataan ekstrem Yulhasni yang mengatakan bahwa TBSU juga menjelma sebagai arena baptis seseorang menjadi sastrawan.
Begitupun, kedua pemikiran demikian di atas tetap bisa didebat. Terkhusus pernyataan Yulhasni yang dituding beberapa peserta diskusi berlebihan. Betapa tidak? Banyak orang yang berkunjung ke TBSU untuk masuk ke proses pembelajaran aneka seni, terutama sastra.
Namun, dangkal juga jika kemudian pernyataan Yulhasni ditelan begitu saja. Manalah ada asap tanpa api? Yulhasni tak mungkin berpendapat sedemikian rupa tanpa bukti-bukti dan kenyataan yang ditemui di lapangan sebab beliau juga termasuk orang yang sering ”singgah” di TBSU. Apakah memang terdapat banyak orang yang mengakui diri sebagai sastrawan setelah sering berkunjung dan berdiskusi ke TBSU? Boleh jadi!
Segelintir orang yang terganggu pernyataan kontroversial tersebut setidaknya haruslah bertanya pada diri sendiri. Selanjutnya mencoba memberikan penyanggahan dengan menelurkan karya-karya nyata dan tidak hanya berlalu lalang di TBSU semata.
Demikianlah, ”Omong-omong Sastra” kali ini benar-benar menggiring kita untuk menjejaki ranah berpikir yang belum pernah kita injak sebelumnya.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
di FBS Unimed

- Harian Waspada, Minggu, 13 Maret 2011

Kemelut Yang Merubungi Telinga

Visualisasi Puisi Di TBSU
Oleh: Yosi Abdian Tindaon

Tidak hanya melahirkan banyak penderitaan dan kesedihan, ternyata berbagai kemelut dan bencana yang terjadi di negara kita juga dapat memekakkan telinga. Setidaknya hal tersebutlah yang terasa di menit-menit awal pertunjukan ”Visualisasi Puisi” oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan, hingga melumpuhkan kenyamanan telinga sebagian besar penonton. Dentuman soundsystem nampaknya terlampau perkasa meskipun gedung utama merupakan arena terbesar di Taman Budaya Sumatera Utara.



”Visulisasi Puisi” yang berlangsung pada Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, Rabu, 15 Desember 2010 lalu dipentaskan dengan latar panggung yang cukup megah berupaya mengajak penonton untuk sejenak merenungkan dan menyadari berbagai persoalan yang melanda negeri ini. Pertunjukan ”Visulisasi Puisi” dibuka dengan puisi Chairil Anwar berjudul ”Persetujuan dengan Bung Karno”, dilanjutkan dengan beberapa puisi karya Idris Pasaribu, Juhendri Chaniago, Sakinah Annisa Mariz, Sidrata Emha, H. Ahmadun Yosi Herfanda, dan Antilan Purba.
Melalui visualisasi seperti ini, selain menyaksikan penyampaian yang berbeda dalam berpuisi—kerpa dalam bentuk deklamasi atau baca puisi—,kita dapat menyaksikan sejarah kecil pergolakan serta rentetan bencana yang belakangan agaknya sering berkunjung ke negara kita. Sejarah yang dirangkum lewat lirik-lirik tajam, puitis, pedih, ditingkahi pola gerak dan tari serta musik dan tentu saja mengandung pesan nasionalisme yang kental dan pengaduan pilu kepada Sang Pencipta alam.