Minggu, 26 Juni 2011

Sekali ini saja. Tuhan, Berjanjilah.......


Belajar dari jalan-jalan yang menikung
Dan dari apa saja yang tak lurus-lurus saja dalam hidup ini

Baru saja kupanjatkan doa,
Untuk Tuhan menyampaikan semua rasa rinduku demi melihatmu dan berbincang denganmu
Cerita apa yang tak kubagi?
Riang sekecil apa yang tak hendak kuceritakan?
Keluhan seperti apa yang akan membuat kau menutup telinga?
Diamku yang sebagaimana yang tak kau mengerti?
Dan berulangkali kau tinggalkan aku sendiri, sebab kau paham, kali ini tangisku bukanlah jangkauanmu

Sakit sesakit apa yang membuat kau tetap terjaga hingga mentari menari dan lelap lagi?
Sepatah apa aku menyerah?
Langkah beratku yang mana yang tak kau tuntun jua?

Perih berpuluh jarum yang menusuk kulit,
Tak sepadan dengan nanar mataku memandangimu lelah menungguku melangkah

Sejak beberapa waktu lalu aku membaca lukisan-lukisan tak nyata pada pinggir-pinggir hujan
Pada petang yang menjerang
Membawa gelap ke pangkuan purnama

Siklus hidup kita begitu-begitu saja
Kita lahir
Hidup
Tersenyum
Menangis
Tertawa

Bahagia, derita adalah dua sisi yang tetap bersama

Dan akhirnya menemui tiada

Kengerian akan makna penghabisan bukanlah esensi hidup yang paling pantas untuk ditakutkan
Tapi, kesiaan tak terelakkan, meski diluar kendaliku,
Adalah alasan yang kerap membuat mengutuk diri sendiri

Aku saja
Aku lelah
Jangan mendahului

Berjanjilah.....

Ibu

Terus mencari meski esok mentari pergi, Sudut tepi menjelang abadi itu cuma mimpi

Maaf karena aku bukanlah filsuf yang kata-katanya senantiasa bijaksana

Maaf untuk tidak menjadi malaikat yang menyampaikan pesan-pesan indah
Sedang aku, sarkasme nyata

Maaf juga, jika puisiku kehilangan puitisnya
Cerminan diri dengan ego yang begitu tinggi
Dan belum lagi bisa memanusiakan manusia dengan barisan kata

Kontemplasiku memang seputar rasa sakit dan pedar duka
Tapi aku bukanlah
Seniman kata yang sakit jiwa

Kucipta puisi berakar pisau
Jangan kau eja bila tak mau luka

Baiklah
Itu saja