Oleh : Yosi Abdian Tindaon
Belakangan ini
wacana mengenai boyband Korea SuJu (Super Junior) tengah ramai dibicarakan.
Wajar saja, beberapa waktu yang lalu, Super Junior baru saja melakukan konser
yang bertajuk SuperShow4 di tanah air, tepatnya di Jakarta. Berbagai media,
baik cetak maupun elektronik gencar memberitakan mereka. Bahkan sebagian besar
pengguna beberapa situs jejaring sosial yang mendunia seperti facebook dan
twitter sering mengangkat mereka sebagai tema pembicaraan.
Beberapa hari yang lalu saya sedang
menyimak timeline, tanpa sengaja membaca perdebatan sengit antara para fans
fanatik SuJu dengan sebuah akun twitter yang menerbitkan beberapa foto dan
menuliskan beberapa posting yang
menyatakan bahwa para personel SuJu adalah sekumpulan gay. Pasalnya, di
berbagai situs tengah ramai dibicarakan perilaku yang menyimpang dari para
personel SuJu yang terdiri dari sembilan lelaki berpenampilan dandy ini. Iseng-iseng
dan penasaran, saya kemudian menelusuri perdebatan sengit itu dan juga menilik
beberapa foto yang diterbitkan.
Apa yang saya dapatkan dari hasil
penulusuran itu kemudian adalah sangat memprihatinkan. Seorang fans fanatik
SuJu yang biasanya disebut ELF, menuliskan “Kalian tidak mengerti adat dan
budaya korea, jadi lebih baik tidak usah bicara”. Ironis, seorang generasi muda
Indonesia ternyata jauh lebih mementingkan adat dan budaya Korea tinimbang adat
dan budaya bangsa sendiri.
Membela dan terkesan ngotot akan pendapat mereka
bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan SuJu dengan berciuman dengan sesama
personel adalah hal yang lumrah.
Pergeseran Pola Pikir
Segala macam hal yang berbau Korea
nampaknya memang tengah mewabah di tanah air. Hal ini terlihat dari munculnya
bebagai grup musik yang berkiblat serta
meniru boyband dan girlband korea. Baik lelaki maupun perempuan berdandan
sedemikian rupa dan menyayi sambil menari di layar kaca. Liriknya didominasi
tema percintaan dan segala hal yang menyangkut kaum muda. Tidak hanya itu, gaya
berbusana ala Korea pun tengah marak dan membanjiri pasaran. Penjualan pakaian
secara online akan lebih diminati jika mereka mencantumkan embel-embel “ala
Korea” atau “buatan/ diimpor dari Korea”.
Para remaja kerap menggunakan bahasa
Korea untuk saling sapa di berbagai social-media,
namun tampaknya kurang memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia mereka yang
terkesan serampangan dan “semau gue” tanpa mengingat kaidah bahasa Indonesia.
Air tenang, menghanyutkan. Begitulah
kira-kira perumpamaan lama yang dapat merepresentasikan kedaan generasi saat
ini. Dekadensi paradigma yang ekstrim terjadi dalam waktu yang singkat. Tanpa
disadari, jiwa kebangsaan terkikis bersama dengan vokalnya para remaja
melafalkan segala hal yang berkaitan dengan korea. Baik aktor atau aktris,
film, serial, musik, dan selera berpakaian. Pada saat yang sama gedung-gedung
pertunjukan seni dan budaya local kian sepi. Pementasan teater yang “lebih
Indonesia” terpinggirkan. Penggunaan bahasa Indonesia dengan kesalahan yang fatal
kian banyak ditemukan.
Perlu adanya filter bagi diri para generasi muda dalam menerima kebudayaan lain.
Misanya para personel boyband -yang
kerap mempertontonka aksi saling berciuman di atas panggung- yang diklaim para
penggemar mereka sebagai salah satu adat dan budaya Korea, jelas sangat
bertentangan dengan adat dan budaya kita. Generasi muda perlu membentengi diri
mereka dari budaya luar agar mereka tidak kehilangan “keindonesiaannya”, sehingga
tidak perlu menggunakan nama akun sosial-media
dengan nama-nama asing untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap
segala sesuatu yang asing dan belum tentu baik.
*Penulis adalah seorang mahasiswa Pendidikan Profesi Guru jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar