Oleh: Yosi Abdian Tindaon
Kiranya minat penonton akan lakon berbau komedi memang tengah meningkat tajam belakangan ini. Terlebih bagi kaum muda yang cenderung kurang menyukai hal-hal dengan keseriusan berlebih. Hal ini juga yang mungkin menjadi salah satu alasan Kelompok Seni Rumah Kata mementaskan sebuah lakon komedi musikal yang berjudul “Cinta yang Membunuh”.
Lakon“Cinta yang Membunuh” pada Sabtu 22
Desember 2012 di Gedung
Utama TBSU Medan.
Berlangsung pada Sabtu, 22 Desember 2012 di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan No.33 Medan pada pukul 20.00 WIB, pementasan kali ini berlangsung atas kerja sama antara Rumah Kata dengan Maimmoen Stage. Pementasan dengan naskah karya Idris Siregar dan disutradai oleh Dendy Risnandar ini menampilkan wajah-wajah baru pelakon muda seperti Yasholta Purba, Feri Sahdan, T. Mirza D, M. Maskur, Agus Budianto, Rahayu, Syafrizal Efendi , M. Imam Fadi, Alinuddin Siregar dan lain-lain. Jalannya cerita juga diisi beberapa lagu ciptaan Idris Siregar yang dibawakan dengan apik oleh Hartika Sri utami Saragih.
“Cinta yang Membunuh” bercerita tentang kehidupan anak muda pada umumnya dan tentu tidak jauh dari perihal asmara. Amelia –yang diperankan oleh Yasholta Purba– dan Ganesh –yang diperankan oleh Feri Sahdan– menjalin kasih dalam waktu yang telah cukup lama. Hubungan mereka mulai menemui perubahan yang drastis ketika suatu waktu Amelia harus pulang ke rumah untuk menjenguk ibunya yang tengah sakit parah.
Tak dinyana, Amelia kemudian jatuh hati pada seorang lelaki bernama Joni –yang diperankan oleh T Mirza D–. Pasalnya Amelia begitu simpatik pada Joni yang berbaik hati membantu dia dan ibunya melunasi hutang mereka yang membengkak pada rentenir. Demikian juga Ganesh yang mulai kesal dan bingung akan perubahan Amelia, mulai berkenalan dan menjalin kedekatan dengan gadis lain.
Ketika Joni dan Amelia hendak meresmikan hubungan mereka menuju jenjang yang lebih serius, pada saat itu pula hadir Ganesh yang mulai kalap dan terbakar emosi menghadapi kenyataan itu. Terjadi pertengkaran hebat di antara mereka bertiga. Hingga pada akhirnya Amelia mendapati kenyataan pahit bahwa Joni hanya menganggapnya sebagai alat untuk membalaskan dendam persaingan yang telah lama terjadi antara Joni dan Ganesh. Amelia yang berpikir bahwa Joni tulus mencintainya pun kecewa luar biasa. Terlebih saat Joni kemudian hanya menilai dan mengaitkan segala hal yang terjadi dengan sejumlah materi yang telah dicurahkannya pada keluarga Amelia.
Sebagai sebuah drama musikal sesungguhnya “Cinta yang Membunuh” justru menunjukkan garis jelas pembeda lakon dan musik. Bagaikan minyak dan air, musik dan lakon yang ditampilkan sayangnya tidak terlihat menyatu. Hal ini dikarenakan lagu dan musik cenderung ditampilkan ketika pergantian babak cerita. Pada beberapa bagian juga terlihat ketidaksinkronan antara lirik lagu yang dinyanyikan dengan ilustrasi adegan pada panggung.
Ketidaksinkronan kian menjadi ketika beberapa pelakon menari di atas panggung dengan gerakan modern dance. Bagian ini dirasa kurang memiliki kesinambungan dengan jalannya cerita. Bahkan kenekatan salah seorang penari yang nampaknya kurang menguasai gerakan ikut berlenggok di panggung sungguh menjadi penegasan ketidaksinambungan adegan.
Sedangkan sebagai sebuah drama yang bergenre komedi, “Cinta yang Membunuh” dapatlah diacungi dua jempol untuk ledakan tawa penonton yang mendominasi jalannya pementasan. Dengan cerdiknya adegan-adegan serius kerap diselipi komedi yang mengundang gelak. Seperti adegan ibu Amelia yang tengah sakit mendadak meringis seperti mengalami kesakitan yang luar biasa justru karena kakinya terinjak oleh Joni. Juga beberapa lawakan yang berbahan pelesetan beberapa iklan televisi yang telah populer di telinga penonton menghasilkan riuh tawa dalam gedung pementasan. Tak lupa pilihan dan cara berbusana para pelakon yang banyak nyeleneh secara tidak langsung membumbui kelucuan.
Namun bukan tanpa cela. Beberapa adegan yang direncanakan sebagai adegan komedi terasa sedikit memaksa dan berlebihan. Seperti adegan Amelia yang menyuapi ibunya hingga sang ibu tersedak-sedak dan memuntahkan kembali makanannya justru lebih terlihat mengganggu dibandingkan lucu. Demikian juga adegan dua orang preman yang mengancam Ganesh dengan secara gamblang di beberapa bagian menunjukkan adegan pemukulan.
Pada beberapa adegan terlihat para pelakon tidak sadar akan kehadiran lampu sorot dan memubazirkan pencahayaan pada panggung. Ditambah lagi perangkat pementasan yang digunakan para kru kurang tertata rapi. Pantulan cahaya perangkat audio visual yang terkadang luput dari pengaturan membuat perhatian penonton terpecah pada layar ilustrasi dan panggung pementasan. Agaknya harapan awal para penonton –yang kecewa karena jadwal pementasan undur selama tiga puluh menit–, bahwa keterlambatan akan terbayar dengan keutuhan lakon yang elok pun pupus. Justru sebelum pementasan dimulai dengan keadaan layar pentas terbuka lebar, beberapa kali pelakon hilir mudik melakukan persiapan.
Manalah mungkin ada asap tanpa ada api. Kekurangutuhan lakon pada pentas mungkin saja disebabkan para pelakon muda belum lagi memiliki jam terbang yang cukup tinggi. Namun ada alasan tersendiri pementasan kali ini dibintangi oleh para pelakon muda. Rumah Kata dalam usahanya untuk menghidupkan ekspresi berkesenian di kota Medan, selain dengan pilihan genre pementasan yang dianggap dapat menarik perhatian penonton, juga merekrut dan mengajak para pelakon muda untuk unjuk kebolehan berakting di atas pentas.
Sebuah hal yang patut disoroti memang. Sebab belakangan ini kerap marak pemberitaan betapa kaum muda cenderung menghabiskan waktu luang dengan berbagai kegiatan yang kurang patut. Misalnya dengan kebut-kebutan di jalan raya bersama kelompok motor tertentu, penggunaan dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang, tawuran antar kelompok, pergaulan bebas, dan banyak kegiatan negatif lainnya. Berkesenian, khususnya berlakon di atas pentas memang layak dijadikan pilihan kegiatan yang tepat untuk menghabiskan waktu luang. Kegiatan yang juga tentunya dapat menggali dan mengembangkan potensi berkesenian yang terdapat pada masing-masing kaum muda.
Sejatinya sebuah panggung tak pernah pandang bulu. Tak peduli siapapun yang tengah berlakon di atasnya, dituntut untuk senyawa dengan tampilan panggung dan cerita. Apakah dia pelakon muda atau maestro pertunjukan, tentu menuai tuntutan yang sama. Terlepas dari minimnya jumlah penonton, ketika para pelakon telah berdiri di atas panggung, maka kewajiban mereka dan para kru pementasan adalah memberikan suguhan terbaik.
Niat yang baik saja memang tidaklah pernah cukup. Oleh karena itu keseriusan yang lebih dan persiapan yang matang perlu dilakukan sebelum sebuah cerita dipentaskan. Pun begitu, apresiasi yang tinggi tetap layak diberikan pada Rumah Kata dan Maimmoen Stage sebagai komunitas yang masih terbilang muda dalam upaya mereka untuk memasyarakatkan seni, terlebih pada kaum muda.
Penulis adalah penikmat seni pertujukan.
-Waspada, Minggu, 30 Desember 2012
-Waspada, Minggu, 30 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar