Oleh: Yosi Abdian Tindaon
Tak selamanya sebuah pertunjukan yang
mengusung tema komedi hampir dapat dipastikan akan menampilkan sebuah akhir
bahagia dan penuh kelucuan juga. Bisa jadi terjadi hal yang sebaliknya.
Setidaknya hal itulah yang justru terjadi pada ”Nensi”. Berlangsung pada Sabtu,
13 Oktober 2012 di Gedung Sanggar Tari Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan No.33 Medan, monolog
yang ditulis oleh Syahfitra Harahap dan Ronald Tarakindo Rajagukguk tersebut menampilkan
sejumlah pelakon muda dari Sanggar Air Putih. Monolog ”Nensi” adalah produksi
kedua dari sanggar yang diketuai oleh Haykal Abimayu ini, setelah sukses menggelar
pementasan pertamanya pada Maret lalu dengan lakon Cipoa karya Putu Wijaya. Disutradarai
oleh sang pemeran utama, Ronald Tarakindo Rajagukguk, monolog ini juga disemarakkan
oleh para pemeran pendukung yakni
Kannegi, Rusdi, Putri Indah, Faisya, dan Kencol.
Dijadwalkan akan dipentaskan pada pukul 19.30
WIB, nyatanya pementasan undur beberapa saat dikarenakan meluapnya penonton tak
sebanding dengan daya tampung Sanggar Tari yang terbilang mini. Meski panitia
dengan segala kerendahan hati telah menghanturkan maaf dan mengajukan solusi
yang tak akan merugikan para penonton yang kadung membeli tiket –namun tak
dapat duduk–, hal ini memang layak menjadi catatan bagi para pekerja seni
pementasan untuk kedepannya dapat lebih jeli memperhitungkan kuantitas penonton
dan kedaaan ruang pementasan demi mengurangi ketidaknyamanan dan terlambatnya
waktu pementasan.
Ronald Tarakindo Rajagukguk sedang berlakon dalam
Monolog ”Nensi”, Sabtu, 13 Oktober 2012
di Gedung Sanggar Tari TBSU Medan
Monolog ”Nensi”, Sabtu, 13 Oktober 2012
di Gedung Sanggar Tari TBSU Medan
Sebenarnya tidak ada tema yang
begitu istimewa dan ”wah” pada pementasan monolog kali ini. Bercerita tentang
seorang pemuda bernama Boynal yang mengakui dirinya sebagai seorang playboy dan berkisah perihal petualangan
cintanya dengan banyak wanita. Suatu ketika
Boynal yang baru saja mengalami kekecewaan mendalam pada seorang wanita,
kembali bertemu dengan seorang kawan
lamanya melalu social media. Setelah
pertemuan mereka, sang pria merasa jatuh
hati kepada kawan lamanya yang bernama Nensi tersebut. Sayang sekali karena di kemudian hari Boynal
harus menerima kenyataan pahit bahwa Nensi telah bertunangan dengan pria
lain. Selanjutnya sudah dapat ditebak, playboy
yang tengah kena batunya itu kemudian patah hati dan depresi. Boynal lantas
menghabiskan waktu dengan melakukan segala hal buruk dan menikmati kehidupan
malam yang justru semakin membuatnya terperosok ke dalam jurang despresi yang
kian kelam.
Tema yang seperti ini sebenarnya sudah
awam sekali ditemui, terlebih dalam tayangan FTV sehari-hari di televisi. Namun
tentu saja sebagai lakon komedi ”Nensi” jelas berhasil dalam upayanya membuat
penonton terbahak-bahak akan pola gerak dan tutur Ronald Tarakindo Rajagukguk,
bahkan sudah sejak sejak adegan-adegan awal pementasan.
Apakah sekedar bualan seorang pemuda
playboy yang mengisi monolog ”Nensi”?
Tentu saja tidak. Sepertinya tidak akan berlebihan jika menganggap monolog ini
sebagai sebuah komedi tragis. Betapa tidak? Penonton yang sedari awal
melepaskan serentetan gelak tawa yang bergemuruh akhirnya diam terhenyak atau
bahkan terharu pada bagian akhir cerita. Ya, Boynal yang merasa begitu kecewa,
cemburu dan kalap terhadap Nensi akhirnya membunuh Nensi dengan kejamnya. Seusai
membunuh Nensi, ia menyimpan mayat perempuan yang amat dicintainya itu
bersamanya dan menghabiskan waktu berdua. Bahkan sesekali mengajak raga yang
tak lagi bernyawa itu bercanda. Sebuah akhir cerita yang memang tak diduga.
Cerita ini dengan kata lain menggiring para penonton pada sebuah tragedi yang
kejam dengan kelucuan-kelucuan sebagai pengantarnya.
Monolog ”Nensi” yang ditulis oleh
penulis lokal jelas memiliki ciri tersendiri dibandingkan karya-karya para
penulis lain –yang tidak berasal dari Sumatera Utara– yang kerap diadaptasi ke budaya lokal. Monolog
”Nensi” dengan sangat gamblang dapat
dicerna dan dimengerti sebab unsur ceritanya sendiri pun banyak berasal dari
lokal, yakni dari Medan. Seperti nama beberapa tempat yang begitu dikenal di Kota
Medan berulang kali disebutkan dalam cerita. Hal ini tentu saja membuat
penonton merasa ”tidak berjarak” dengan cerita. Ya, sudah sejak lama tentunya
banyak orang akan bersepakat bahwa unsur lokal sangat berpeluang baik akan
membuat sebuah karya lebih membumi dan diterima para penontonnya.
Poin menarik lainnya adalah
pertunjukan dengan menghadirkan lawakan segar dan dialog yang ringan memang
tampaknya telah lama dinanti oleh para penonton. Banyak anggapan yang muncul selama ini bahwa
pementasan monolog –teater pada umumnya– cenderung ”merepotkan diri sendiri”
dengan tema-tema yang berat dan sulit dicerna para penonton awam. Kiranya
menjadi pengingat juga bagi para pelaku pertunjukan bahwa tema-tema yang ringan
dan menghibur justru nampaknya lebih mudah menawan hati para awam sastra.
Lazimnya sebuah monolog yang
mengharuskan sang pemeran utama terus menerus berceracau dan berlakon seorang
diri, ”Nensi” juga membuat Ronald Tarakindo Rajagukguk melepaskan kalimat demi
kalimat nyaris tanpa jeda yang cukup berarti. Sehingga maklum jika kemudian pemeran
utama beberapa kali terlihat terengah-engah dan mengulang beberapa kata demi
menutupi buruknya artikulasi. Menyadari hal tersebut yang kiranya membuat Ronald
semakin terlihat tidak enjoy dan
tergesa-gesa dalam berperan.
Ternyata tak selamanya ruang Sangar
Tari TBSU yang terbilang mini memberikan imbas yang buruk pada pementasan kali
ini. Di ruangan tersebut suara musik dan para pelakon justru lebih terdengar
lebih jelas dan bulat meski tanpa bantuan sound-system
yang cukup mumpuni. Juga jarak antara penonton dan para pelakon yang
terbilang dekat membuat pementasan lebih terasa nyata. Demikian juga tata lampu
yang beberapa kali dengan apiknya mampu mempertegas kesan pada setiap adegan
yang bergulir pada panggung.
Juga dengan tata panggung yang amat
sederhana, monolog ini tetap dapat mengalir dengan baik. Di bagian tengah
pementasan terdapat adegan sang pemeran utama menari dengan beberapa lelaki
yang berkostum wanita dengan musik disco yang
hingar bingar dan populer. Serta merta
penonton bergelak riuh. Semakin memperjelas bahwa ”Nensi” berhasil merebut hati
penontonnya dengan rentetan kekonyolan dan banyolan para pelakon. Tata musik
memang terbilang cerdik dengan melatari berbagai adegan dengan beberapa lagu
yang tengah populer sehingga cerita terkesan lebih hidup dan baru. Hal ini
tentu saja kurang senada dengan kostum para pelakon yang didominasi warna-warna
cerah yang justru mengingatkan pada gaya berpakaian era 80’an.
Di tengah lesunya kancah teater
Sumatera Utara karena sepi peminat, berbagai usaha yang dilakukan setiap
sanggar untuk tetap bertahan dan eksis berkesenian memang patut mendapatkan
apresiasi yang tinggi. Demikian juga Sanggar Air Putih yang baru berumur dua
tahun ini tak ubahnya adalah cikal bakal yang harus membangun diri dan bertahan
dari banyak rintangan, sehingga dapat pula menjadi sebuah sanggar yang layak
diperhitungkan karena karya-karya apik dan penuh inovasi yang ditampilkan, guna
menyuguhkan wajah baru dan melakukan penyegaran pada ranah teater di Medan.
Penulis adalah penikmat seni pertujukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar